Tradisi Larungan Sesaji Telaga Ngebel merupakan salah satu rangkaian Grebeg Suro Kabupaten Ponorogo. Ada yang bingung dengan apa itu Grebeg Suro?
Grebeg Suro adalah acara tradisi kultural masyarakat Ponorogo dalam wujud pesta rakyat. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel. Grebeg suro merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro pada tahun Jawa). Acara ini merupakan kegiatan awal dalam menyongsong Tahun Kunjungan Wisata Jawa Timur setiap tahun.
Pagi menjelang malam 1 Suro
saat udara sedingin es, warga Ngebel mengadakan upacara qurban. Seekor kambing
dengan bulu warna putih tidak putus melingkar bagian tengah tubuhnya atau yang
disebut dengan kambing kedit akan disembelih. Darah kambing yang ditampung
di kain putih ini dihanyutkan ke muara telaga. Sang kepala akan dilarung ke
telaga nanti malam dan kaki kambing akan ditanam di empat tempat keramat. Sementara
itu seorang warga bernama Sagun akan mengemban tugas penting. Ialah pembawa sesaji ke tengah telaga
dalam ritual yang akan berlangsung nanti malam.Konon, tidak sembarang
orang bisa membawa dan berenang menghayutkan sesaji ke tengah telaga.
Sagun sendiri mengaku tidak punya ilmu penangkal apapun selain
mahir berenang. Lelaki tiga anak ini sehari-harinya bekerja sebagai pengawas
pengairan di Ngebel. Bila ada orang yang tenggelam di Ngebel, biasanya
Sagun yang diminta mencari. Tak heran ia terus dipercaya sebagai pembawa
larungan sesaji. Malam 1 Suro, warga kembali menuju telaga. Larung sesaji akan
berlangsung malam hari. Disepanjang jalan menuju Telaga Ngebel, warga memasang
obor sebagai penerangan jalan. Tradisi menyalakan obor saat malam 1 Suro
ini sudah berlangsung lama. Menambah suasana mistis yang sudah terasa sejak
pagi.
Akhirnya, warga sampai di aula kecamatan tempat larung akan
dimulai. Sekitar 40 sesepuh dan dukun Ngebel berkumpul di aula kecamatan.
Mereka akan tirakatan. Dalam acara ini, sejenis matra Jawa kuno dibaca
bersama-sama. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi larung saji di
Ngebel ini berlangsung. Yang jelas, sang telaga seperti tak jera meminta korban
jiwa. Seusai tirakatan, saatnya menuju danau. Penerangan yang digunakan
seadanya menambah aroma gaib di tempat ini. Apalagi udara sangat dingin. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah para sesepuh untuk
mengelilingi danau menanam 4 potongan kaki di tempat-tempat keramat.
Dalam waktu hampir bersamaan, upacara larung sesaji segera
dimulai. Potongan kepala kambing yang sudah dimasak dijadikan sesaji,
dihanyutkan ke tengah telaga dibawa Sagun sang pembawa. Malam yang gelap membuat pandangan ke tengah telaga tidak begitu
jelas. Semua yang hadir malam ini menanti kepulangan Sagun. Sagun memang
tangguh, tak lama ia pun kembali. Padahal selain ada kisah
angker yang membayangi, air di telaga sungguh amat dingin. Usai larung sesaji
kembali diadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur. Besok pagi akan digelar
kembali larung sesaji, tapi dengan nuansa berbeda.
Mengapa Ada Larung Lagi?
Pagi hari 1 Suro atau 1 Muharam larungan kembali digelar. Tapi
yang ini lebih sebagai modifikasi yang dilakukan pihak pemerintah daerah
setempat. Dalam perkembangannya, larung sesaji yang penuh aroma gaib memang
menjadi kontroversi di masyarakat Ponorogo. Sebagai kota santri yang
hampir seluruh penduduknya pemeluk Islam, larung sesaji dianggap tidak relevan
dengan ajaran Islam.
Tapi disisi lain, larung
sesaji sudah jadi tradisi yang melekat pada warga setempat. Pemerintah Daerah
setempat kemudian berinisiatif memodifikasinya dengan larung berisalah doa. Ini juga sebagai salah
satu upaya Pemda untuk menarik wisatawan datang ke Ngebel. Karena Ngebel yang
kaya potensi wisatanya ini jarang jadi tempat tujuan wisata. Kebanyakan sudah
ketakutan dulu bila mendengar mitos Ngebel. Kalau melihat jumlah
pengunjung yang datang menyaksikan larungan pag ini, upaya itu cukup berhasil.
Dari sisi prosesi, larung risalah mirip dengan larung sesaji yang dilakukan
malam hari.
Perbedaannya ada pada
jenis sesaji dan doa. Pada larung risalah ini ukuran sesajinya jauh lebih
besar. Terbuat dari beras dan bahan makanan lainnya.
Nuansanya pun tidak
seperti tadi malam. Mungkin karena yang hadir saat ini jauh lebih banyak.
Bahkan Kami bisa ikut naik ke atas perahu mengiringi sang pembawa sesaji.
Dalam larung risalah,
sesajian ini diperuntukan bagi hewan penghuni telaga seperti ikan. Selain
sesaji, ikut ditenggelamkan juga kota berisi doa keselamatan kedasar telaga.
Tujuannya meminta keselamatan dan perlindungan Tuhan.
Seiring dengan tenggelamnya
sesaji, usai sudah ritual tahunan di Ngebel. Tak lama lagi telaga ini akan
kembali tenang, kembali ditakuti. Tapi mungkin, mitos ini jugalah yang
melindungi keberadaan Telaga Ngebel yang keindahannya terjaga hingga kini.Sekian penjelasan mengenai Tradisi Larungan Sesaji Telaga Ngebel, semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar